Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak penggunaaan alat pemindai tubuh (full-body scanner) dipasang di bandara di Indonesia. Selain tidak sesuai aturan agama, juga melanggar hak asasi manusia. “Jangan dulu dipasang di Indonesia. Kita ini bukan negara paranoid atau negara takut. Yang kita takutkan justru alat itu melanggar hak asasi dan bisa jadi mainan untuk menzalimi wanita,” jelas Ketua MUI Amidhan saat dihubungi detikcom, Selasa (23/2/2010). MUI sepakat dengan ketidaksetujuan Paus Benedict XVI terhadap alat yang mampu ‘menelanjangi’ tubuh itu. “Itu melanggar hak asasi. Kalau yang kelihatan tulang itu tidak apa, tapi kalau yang tampak tubuh bisa jadi mainan,” terangnya. MUI memberikan perkecualian dalam penggunaan alat itu dalam kondisi darurat, menyangkut keamanan dan ketertiban negara. “Itu pun tentu yang memeriksanya wanita untuk wanita, dan pria dengan pria,” tambahnya. Sedang untuk saat ini, Amidhan menilai bukan dalam kondisi darurat dan alat yang lain pun masih bisa digunakan. “Jadi pokoknya sepanjang tidak ada alat lain, artinya darurat,” tutupnya. Alat pemindai modern ini telah ada di sejumlah bandara di Indonesia sejak tahun 2008. Scanner itu bermerek ProVision buatan pabrikan L3 Security &; Detection System, Amerika Serikat. Dephub RI menjamin alat itu tidak akan memperlihatkan alat vital. Di sejumlah negara, alat ini telah digunakan secara berkala pada calon penumpang yang mencurigakan. Saat ini alat tersebut diuji coba di sejumlah bandara di Kanada dan Perancis. Pemeriksaan akan difokuskan untuk para penumpang yang hendak ke Amerika Serikat (AS).

Syaikh Abdullah bin Sulaiman Al-Mani’, seorang anggota dari ulama senior Mesir mengatakan bahwa artikel jurnalis Saudi Nadine Al-Bedair yang dimuat di surat kabar Al-Masry Al-Yaum yang mengkampanyekan poliandri seperti bara api.

Dirinya menggambarkan bahwa penulis artikel Nadine Al-Bedair yang juga presenter TV Saudi TV tersebut sebagai orang yang mengkampanyekan ajaran yang sesat dan menyesatkan dengan menganjurkan para wanita untuk memiliki hak yang sama untuk memiliki pasangan lebih dari satu.

Syaikh Mani’ menyatakan bahwa persoalan tentang haramnya kesetaraan kaum perempuan khususnya menikah dengan lebih dari satu suami telah merupakan konsensus kaum muslimin secara umum.

Sebelumnya anggota parlemen dari partai al-Shaab yang juga pengacara Mesir Fouad Khaled Hafez telah mengajukan gugatan ke pengadilan terkait tulisan kampanye poliandri yang di tulis oleh Bedair di harian independen Al-Masry Al-Yaum.

Fouad Khaled Hafez menyatakan bahwa artikel Bedair telah mengkampanyekan sebuah pelanggaran etika dan moral secara terang-terangan, baik etika secara ajaran agama maupun etika secara hukum masyarakat.(Eramuslim/fq/imo)

Bentrok Ahmadiyah di Kuningan

Posted: Agustus 24, 2010 in Berita Islam

Keributan antara jemaah Ahmadiyah dengan organisasi massa lain di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, bukan baru kali ini terjadi. Keributan yang berbuntut bentrok kerap terjadi setiap tahun.

“Apalagi menghadapi bulan Ramadan. Biasanya ini sering terulang,” kata Bupati Kuningan Aang Ahmad Suganda di lokasi kejadian, seperti dilaporkan tvOne, Jumat, 30 Juli 2010.

Menurut Aang, pemerintah kabupaten setempat sudah melakukan berbagai upaya untuk meredam bentrokan. Bahkan, pada 2004 pemerintah kabupaten sudah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan beberapa instansi lain.

“Saya pernah mengeluarkan SKB yang ditandatangani juga oleh Kepala Kejaksaan Negeri dan Kantor Kementerian Agama,” ujar Aang yang meninjau langsung lokasi kejadian.

Make-up Halal Tersedia di Inggris

Posted: Agustus 24, 2010 in Berita Islam

London  – Seorang Muslimah pengusaha telah meluncurkan sejumlah “make-up” halal pertama di Inggris; riasan itu bebas dari alkohol dan produk hewani dan permintaan pun sudah datang dari Indonesia.

Samina Akhter mendirikan Samina Pure Make-up di rumahnya di Birmingham, setelah menanyai pedagang mengenai bahan yang digunakan dalam berbagai produk make-up di Hight Street.

Berdasarkan hukum Islam, alkohol dan daging hewan tertentu dilarang. Daging babi khususnya haram bagi umat Muslim berdasarkan hukum Islam, sehingga Samina terkejut saat mengetahui bahwa sebagian produk yang dia gunakan berisi asam lemak dan gelatin dari babi.

“Sebagai Muslim, saya mempertanyakan apa yang saya taruh di kulit saya,” kata Samina. “Saya ingin tahu apakah bahan itu diperkenankan di dalam Islam.”

Dalam mempertahankan hukum Islam, eyeliner dan lipstik Samina terbuat dari ekstrak tanaman, mineral, minyak esensial dan vitamin.

Usaha tersebut memperoleh akreditasi halal pada awal Juni, dan kini memiliki lebih dari 500 pelanggan.

“Banyak Muslimah seperti saya telah frustrasi karena ingin kelihatan menarik serta mengikuti ajaran agama mereka,” kata Samina.

Minat terhadap barang-barang itu, yang dijual “daring” (dalam jaringan), telah datang dari jauh bahkan sampai Malaysia, Indonesia serta Singapura, katanya.

Bahan kosmetik itu dikirim dari Australia dan mendapat sertifikat dari badan independen, Halal Certification Authority Australia.

Dewan Hak Asasi Manusia pada Jumat mengumumkan tiga pakar internasional yang akan bertugas sebagai tim pencari fakta dalam kasus serangan militer Israel terhadap kapal bantuan kemanusiaan ke Gaza pada akhir Mei lalu hingga menewaskan sembilan warga sipil.

Menurut Presiden Dewan HAM Sihasak Phuangketkeow seperti yang dikutip Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, ketiga pakar yang tergabung dalam tim pencari fakta adalah Mary Shanti Dairiam dari Malaysia, Sir Desmond de Silva dari Inggris dan Karl T. Hudson-Phillips dari Trinidad-dan-Tobago.

Dairiam sejak tahun 2007 merupakan anggota Gugus Tugas Kesetaraan Jender pada badan PBB untuk program pembangunan (UNDP); Sir Desmond tahun 2005 pernah menjabat sebagai Kepala Jaksa Pengadilan Khusus Sierra Leone (SCSL) yang didukung PBB; sementara Hudson-Phillips adalah mantan hakim Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) untuk periode 2003 hingga 2007.

Namun Dewan HAM belum menentukan sosok yang akan memimpin tim pencari fakta itu.

Ketiga pakar tersebut akan menggelar rencana aksi mereka serta menghubungi pihak-pihak yang terkait sebelum mereka berangkat menuju kawasan tempat tragedi serangan terjadi.

Tim diperkirakan sudah dapat menyampaikan laporan hasil investigasi mereka kepada Dewan HAM pada bulan September mendatang.

Misi pencari fakta itu sendiri dibentuk berdasarkan perintah Dewan HAM pada 2 Juni, yaitu tiga hari setelah Angkatan Bersenjata Israel (IDF) menyerang iring-iringan enam kapal, termasuk MV Mavi Marmara, di perairan internasional.

Keenam kapal tersebut sedang dalam perjalanan mereka ke Jalur Gaza untuk menyalurkan bantuan bagi warga setempat yang menjadi korban pemblokiran oleh Israel sejak tahun 2007.

Sembilan orang tewas dan sejumlah lainnya mengalami luka-luka dalam serangan brutal oleh militer Israel itu terhadap iring-iringan kapal.

Phuangketkeow meminta semua pihak untuk mau bekerja sama secara tuntas dengan tim pencari fakta.

“Dengan keahlian mereka serta kebebasan dan posisi tidak memihak, para anggota misi akan bekerja keras menjelaskan secara tuntas peristiwa yang terjadi waktu itu,” kata Phuangketkeow.
sumber : ant

hukumnya nonton film di bioskop

Posted: Agustus 24, 2010 in Konsultasi

Dalil kebolehannya ialah dalil-dalil umum yang membolehkan perbuatan melihat (nazhar) secara umum. Misal firman Allah SWT (artinya),”Katakanlah,’Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.” (QS Yunus [10] : 101). Juga firman-Nya (artinya),”Katakanlah,’Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati.” (QS Al-Mulk [67] : 23).

Ayat-ayat ini menunjukkan perbuatan melihat (nazhar) hukum asalnya boleh, kecuali jika ada dalil yang mengharamkan melihat sesuatu, misal melihat aurat. Perbuatan melihat ini disebut perbuatan jibiliyyah, yakni perbuatan yang secara fitrah dilakukan manusia sejak penciptaannya, seperti berdiri, berjalan, tidur, makan, minum, melihat, dan mendengar. (Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, I/173; Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hlm. 260).

Adapun syarat infishal, didasarkan pada sejumlah dalil. Di antaranya : Pertama, Nabi SAW telah menetapkan ketika shalat shaf laki-laki di depan sedang shaf perempuan di belakang. (HR Bukhari dari Anas). Kedua, pada masa Nabi SAW jika selesai shalat, jamaah perempuan keluar dari masjid lebih dulu, setelah itu jamaah laki-laki. (HR Bukhari dari Ummu Salamah). Ketiga, Nabi SAW memberi pengajaran kepada laki-laki dan perempuan pada hari yang berbeda. (HR Bukhari dari Abu Said Al-Khudri).

Dalil-dalil ini menunjukkan laki-laki dan perempuan pada asalnya wajib terpisah. Kecuali pada kondisi-kondisi tertentu yang dibolehkan oleh syara’, misalnya beribadah haji, berjual-beli, ijarah (sewa menyewa), belajar, berobat, merawat orang sakit, menjalankan bisnis pertanian, industri, dan yang semisalnya. (An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 37; An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hlm. 321; Abu Nashr Al-Imam, Al-Ikhtilath Ashl Al-Syarr, hlm. 39).

Maka, kelompok penonton laki-laki dan perempuan di bioskop wajib terpisah, sebab keterpisahan ini merupakan prinsip asal dalam pengaturan interaksi antara laki-laki dan perempuan.

Mengenai film 2012, ia menggambarkan Kiamat akan terjadi tahun 2012. Ini bertentangan dengan Aqidah Islam, yang menegaskan tak ada siapapun pun yang tahu kapan terjadinya Kiamat, kecuali Allah itu sendiri. (QS Al-A’raf [7] : 187; QS Thaha [20] : 15).

Maka dari itu, meskipun hukum asal menonton film itu boleh, namun menonton film 2012 tidak dibolehkan khususnya bagi mereka yang belum kuat./mantap keimanannya, seperti anak-anak atau muallaf. Sebab film tersebut dapat membahayakan Aqidah mereka. Sedang bagi mereka yang sudah kuat keimanannya, hukumnya boleh. Kaidah fiqih menyebutkan : Al-Syai’u al-mubah idza awshala fardun min afradihi ila dhararin, hurrima dzalika al-fardu wahdahu wa baqiya al-syai’u mubahan. (Sesuatu yang asalnya mubah jika ada satu kasus di antaranya yang berbahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan, sedangkan sesuatu itu tetap mubah hukumnya). (An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hlm. 89). Wallahu a’lam.

Belum lagi seorang tabi’i yang agung, Amirul mu’minin, ‘‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz membersihkan kedua tangannya dari debu kuburan pendahulunya (yakni, khalifah sebelumnya), Sulaiman bin ‘Abdul Malik, tiba-tiba beliau mendengar suara gemuruh bumi di sekitarnya, lalu beliau berkata, “Apa ini?”

Orang-orang berkata, “Ini adalah kendaraan Khalifah -wahai Amirul mu’minin- telah disiapkan untukmu agar engkau menaikinya.” Lalu Umar melihatnya dengan sebelah mata, kemudian berkata dengan suara gemetar dan terbata-bata karena kelelahan dan kurang tidur, “Apa hubungannya denganku? Jauhkanlah ini dariku, mudah-mudahan Allah memberkati kalian. Dan tolong bawa kemari keledaiku, karena ia sudah cukup bagiku.”

Kemudian belum lagi pas posis duduk beliau di atas punggung keledai hingga datanglah komandan polisi yang berjalan di depannya. Bersamanya sekelompok anak-anak buahnya yang berbaris di sektor kanan dan kirinya. Di tangan-tangan mereka tergenggam tombak yang mengkilat. Lalu beliau menoleh ke arahnya dan berkata, “Aku tidak membutuhkan kamu dan mereka. Aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum muslimin. Aku berjalan pagi hari dan sore hari sama seperti mereka.

Selanjutnya, beliau berjalan dan orang-orang berjalan bersamanya hingga memasuki masjid dan orang-orang dipanggil untuk shalat, “ash-Shalâtu Jami’ah…ash-Shalâtu Jami’ah.”

Maka berdatanganlah orang-orang ke masjid dari segala penjuru. Ketika jumlah mereka telah sempurna, beliau berdiri sebagai khatib. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya serta bershalawat atas nabi, kemudian berkata,
“Wahai manusia, sesungguhnya aku mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah) yang tanpa aku dimintai persetujuan terlebih dahulu, memintanya ataupun dan bermusyawarah dulu dengan kaum muslimin.

Sesungguhnya, aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku, untuk selanjutnya kalian pilihlah dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridlai.”

Lantas orang-orangpun berteriak dengan satu suara, “Kami telah memilihmu, wahai Amirul mu’minin dan kami ridla terhadapmu. Maka aturlah urusan kami dengan berkat karunia dan barakah Allah.”

Ketika suara-suara telah senyap dan hati telah tenang, beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya sekali lagi dan bershalawat atas Muhammad, hamba dan utusan Allah.

Beliau mulai menganjurkan orang-orang supaya bertakwa, mengajak mereka supaya berzuhud dari kehidupan dunia, mensugesti mereka kepada kehidupan akhirat dan mengingatkan mereka kepada kematian dengan intonasi yang dapat melunakkan hati yang keras, menjadikan air mata durhaka bercucuran dengan deras dan keluar dari lubuk hati pemiliknya sehingga terpatri di dalam lubuk hati para pendengarnya.

Kemudian beliau meninggikan suaranya yang agak serak supaya semua orang mendengarnya,
“Wahai manusia barangsiapa yang taat kepada Allah, maka dia wajib ditaati. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah, maka tidak seorangpun yang boleh ta’at kepadanya. Wahai manusia, Taatilah aku selama aku menaati Allah dalam menangani urusan kalian. Jika aku bermaksiat kepada Allah, maka kalian tidak usah taat kepadaku.”

Kemudian beliau turun dari mimbar untuk menuju ke rumahnya dan masuk ke kamarnya. Beliau benar-benar ingin mendapatkan sedikit istirahat, setelah kelelahan yang amat sangat, semenjak wafatnya khalifah sebelumnya.

Akan tetapi, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz baru saja mau meletakkan punggungnya di tempat tidurnya, hingga datanglah putranya, ‘‘Abdul Malik yang waktu itu baru menginjak usia tujuh belas tahun. Lalu sang putra berkata,
“Apa yang ingin engkau lakukan, wahai Amirul mu’minin?!!” Ayahnya menjawab,
“Wahai anakku, aku ingin tidur sejenak, karena sudah tersisa lagi tenagaku ini.”
“Apakah engkau masih ingin tidur sejenak sebelum mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, wahai Amirul mukminin?!!” kata putranya lagi.

Lalu sang ayah menjawab,
“Wahai anakku, sesungguhnya aku tadi malam bergadang malam (tidak tidur) karena bersama pamanmu Sulaiman. Nanti kalau sudah datang waktu Dzuhur, aku akan shalat bersama orang-orang dan akan dan aku mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi tersebut, insya Allah.”
Sang putra berkata lagi,
“Siapakah yang menjaminmu, wahai Amirul mukminin kalau usiamu hanya sampai Zhuhur?!”

Ucapan ini berhasil membakar semangat Umar dan melenyapkan rasa kantuk dari kedua matanya sehingga membangkitkan kekuatan dan kesegaran badannya yang sebelumnya demikian lelah. Ketik itu berkatalah dia kepada sang putra,
“Mendekatlah kemari wahai putraku.!”

Sang putrapun mendekat dan Umar langsung memeluk serta menciumi keningnya seraya berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah melahirkan dari keturunanku orang yang menolongku di dalam menjalankan agama.”

Kemudian beliau berdiri dan menyuruh supaya di umumkan kepada orang-orang, “barangsiapa yang merasa teraniaya, maka hendaklah dia mengajukan perkaranya.”

Lalu, siapakah ‘Abdul Malik ini?! Bagaiman cerita anak muda ini sehingga menjadi buah bibir orang-orang?
Sungguh, dialah anak yang berhasil mensugesti ayahnya untuk rajin beribadah dan mengarahkannya agar menempuh jalan kezuhudan. Marilah kita telusuri lagi kisah pemuda yang shalih ini dari awalnya.!

Adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mempunyai lima belas orang anak, tiga di antaranya ada tiga perempuan. Anak-anak itu semuanya adalah anak-anak yang memiliki tingkat ketakwaan dan keshalihan yang sangat memadai. Namun ‘Abdul Malik adalah putra paling menonjol di antara saudara-saudaranya dan bintangnya mereka yang bersinar-sinar. Dia seorang anak yang ahli sastra, mahir lagi cerdik sekalipun usia masih muda tetapi cara berpikirnya sudah dewasa.

Di samping itu, dia memang tumbuh sebagai anak yang ta’at kepada Allah sejak mudanya sehingga dialah orang yang tingkah lakunya paling dekat dengan keluarga besar al-Khaththab secara umum serta yang paling mirip dengan ‘Abdulllah bin ‘Umar, khususnya dari sisi ketakwaan kepada Allah, rasa takut berbuat maksiat kepada-Nya serta bertaqarrub kepada-Nya dengan melakukan keta’atan.

Keponakannya Ashim (bin Abu Bakar bin Abdul Aziz bin Marwan, dia adalah anak saudara ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz) bercerita, “Suatu waktu, aku bertandang ke Damaskus lantas mampir di rumah anak pamanku (sepupuku), ‘Abdul Malik. saat itu, dia masih bujangan, lalu kami menunaikan shalat isya’ kemudian masing-masing kami beranjak ke tempat tidur. Lalu ‘Abdul Malik mendekati lampu dan mematikannya sementara masing-masing kami mulai tidur. Kemudian aku bangun pada tengah malam, ternyata ‘Abdul Malik sedang berdiri shalat dengan khusyu’nya seraya membaca firman Allah Azza wa Jalla (artinya),
“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun. Kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka. Niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (Q.s.,asy-Syu’arâ`:205-207)

Tidak ada yang membuatku begitu terkesan kepadanya kecuali saat dia mengulang-ulang ayat tersebut dan menangis dengan tangisan yang tersedu-sedu dari dalam hati (tidak terdengar). setiap kali dia selesai dari ayat itu, dia mengulanginya kembali, sehingga aku berkata dalam hati, “Anak ini bisa mati oleh tangisannya.”

Ketika aku melihatnya seperti itu, aku mendesis,
“Lâ ilâha illallâh wal hamdu lillâh. Seakan ucapan orang yang bangun dari tidur, padahal tujuanku untuk menghentikan tangisannya.

Ketika mendengar suaraku, dia terdiam dan tidak lagi terdengar suara rintihannya tersebut.”

Pemuda dari keluarga besar ‘Umar ini banyak berguru kepada ulama’-ulama’ besar pada zamannya sehingga begitu ‘enjoy’ dengan Kitab Allah, kenyang dengan hadits Rasulullah serta pemahaman terhadap agama.

Sehingga dia menjadi seorang yang dapat berkompetisi dengan para ulama kelas atas (ternama) pada zamanya, sekalipun usianya ketika itu masih sangat muda.

Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah mengumpulkan para Qurra` (ahli baca al-Qur’an) dan ahli fiqih negeri Syam. ketika itu, beliau berkata,
“Sesungguhnya aku memanggil kalian untuk penanganan tindak kezhaliman yang sekarang ada di tangan keluargaku, bagaimana pandangan kalian?

Maka mereka berkata,
“Wahai Amirul mukminin, sesungguhnya hal itu tidak termasuk kawasan wewenang anda. Dosa-dosa atas tindakan kezhaliman tersebut sepenuhnya berada di pundak orang yang mengambilnya secara tidak benar (merampasnya).”

Rupanya beliau belum puas dengan jawaban mereka tersebut, lalu melirik ke arah salah seorang di antara mereka yang tidak sependapat dengan pendapat mereka itu, seraya berkata kepadanya,
“Utuslah orang untuk memanggil ‘Abdul Malik, karena dia tidak lebih rendah ilmunya, pemahaman (fiqih)nya ataupun daya nalarnya dari orang-orang telah yang engkau undang.”

Ketika ‘Abdul Malik menemuinya, Umar berkata kepadanya,
“Bagaimana pendapatmu tentang harta orang-orang yang diambil anak-anak paman kita secara dzalim, sedangkan pemilik-pemiliknya telah datang dan memintanya dan kita telah mengetahui hak mereka pada harta itu?!”

‘Abdul Malik berkata,
“Menurutku, hendaknya ayahanda mengembalikan harta itu kepada para pemiliknya selama ayahanda mengetahui permasalahannya. Sebab, jika tidak, berarti ayahanda termasuk kongsi orang-orang yang mengambilnya secara dzalim tersebut.”

Maka lapanglah seluruh rongga-rongga tubuh Umar, jiwanya menjadi lega dan apa yang menghantuinyapun hilang.

Anak muda keturunan Umar ini lebih menyukai “Murabathah” (berjaga-jaga di perbatasan dari serangan musuh) dengan tinggal di salah satu kota yang dekat dengannya ketimbang tetap tinggal di negeri Syam.
Dia tetap berangkat ke sana sementara di belakangnya kota Damaskus yang bertaman indah, naungan yang rimbun dan memiliki tujuh sungai dia tinggalkan begitu saja.

Dalam pada itu, sekalipun sang ayah telah mengetahui keshalehan dan ketakwaan anaknya, beliau masih mengkhawatirkannya dan kasihan kalau-kalau dia bisa luluh oleh godaan syaitan dan gejolak-gejolak masa muda serta begitu antusias untuk mengetahui segala-galanya tentang dirinya tersebut selama dia bisa mengetahuinya. Dan beliau tidak pernah melalaikan hal itu dan tidak pernah mengabaikannya sama sekali.

Maimun bin Mahran, seorang menteri, Qadli sekaligus penasehat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, pernah bercerita,
“Sewaktu menemui ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, aku mendapatinya sedang menulis surat kepada anaknya, ‘Abdul Malik. Dalam suratnya itu, beliau memberikan nasehat, pengarahan, peringatan, berita menakutkan dan gembira.

Di antara isinya adalah, ‘Amma ba’du, sesungguhnya engkaulah orang yang paling pantas untuk menangkap dan memahamai ucapanku. Dan sesungguhnya pula, segala puji bagi Allah, Dia telah berbuat baik kepada kita dari urusan sekecil-kecilnya hingga sebeasar-besarnya. Maka ingatlah karunia Allah kepadamu dan kepada kedua orang tuamu. Janganlah sekali-kali kamu berlaku sombong dan bangga diri, karena hal itu adalah termasuk perbuatan syaitan, sedangkan syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi orang-orang yang beriman. Dan ketahuilah, bahwa aku mengirimkan surat ini, bukan karena ada laporan tentang dirimu sebab aku tidak mengetahui tentangmu kecuali hal yang baik-baik. Namun demikian, telah sampai laporan kepadaku bahwa perihal tindakanmu yang suka berbangga-bangga diri. Seandainya kebanggaan ini menyeretmu kepada sesuatu yang aku benci, tentu kamu mendapatkan telah melihat dariku sesuatu yang kamu benci.

Maimun berkata,
“Kemudian Umar menoleh kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Maimun, sesungguhnya anakku -’Abdul Malik- telah menghiasi mataku (dikasihi dan tidak ada lagi cacatnya) dan aku menuduh diriku telah melakukan itu. Karenanya, aku khawatir kalau rasa cintaku kepadanya telah melebihi pengetahuanku tentang dirinya sehingga apa yang menimpa nenek moyangku dulu yang buta terhadap aib anak-anaknya menimpa diriku juga. Maka pergilah untuk mengawasinya, carilah informasi akurat tentangnya serta perhatikanlah apakah ada padanya sesuatu yang mirip kesombongan dan berbangga-bangg itu, karena dia masih anak muda dan aku belum dapat menjamin dirinya bisa terhindar dari godaan syaithan.”

Maimun berkata lagi,
“Maka aku segera berangkat hingga bertemu dengan ‘Abdul Malik, lalu minta permisi dan masuk. Ternyata dia adalah seorang yang baru menginjak remaja dan masih muda belia, memiliki pandangan yang ceria dan sangat tawadlu’ (rendah diri). Dia duduk di atas hamparan putih, di atas karpet yang terbuat dari bulu. Lantas menyambutku sembari berkata, ‘Aku telah mendengar ayahanda sering berbicara tentang dirimu yang memang pantas kamu menyandangnya, yaitu seorang yang baik. Aku berharap Allah menjadikanmu orang yang berguna.’ Aku bertanya kepadanya,
‘Bagaimana keadaanmu?’

Dia menjawab,
‘Senantiasa dalam keadaan baik dan mendapat nikmat dari Allah Azza wa Jalla. Hanya saja, aku khawatir bilamana sangkaan baik ayahanda terhadapku membuatku terbuai sementara sebenarnya aku belum mencapai tingkat keutamaan sebagaimana yang disangkanya itu. Dan sungguh aku khawatir kalau kecintaan ayahanda kepadaku telah melebihi pengetahuannya tentang diriku sehingga aku malah menjadi bebannya.’

Mendengar jawaban itu, aku (Maimun) jadi terkagum-kagum kenapa bisa terjadi kecocokan hati di antara keduanya. Kemudian aku bertanya kepadanya,
‘Tolong beritahu aku dari mana sumber penghidupanmu.?’

Dia berkata, “Dari hasil tanah yang aku beli dari seseorang yang mendapat warisan ayahnya. Aku membayarnya dengan uang yang bukan syubhat sama sekali sehingga karenanya aku tidak membutuhkan lagi harta Fai’ (yang didapat tidak melalui peperangan-red.,) kaum Muslimin.’ Aku bertanya lagi,
‘Apa makananmu?’
‘Terkadang daging, terkadang ‘Adas dan minyak dan terkadang cuka dan minyak. Dan, ini sudah cukup.”

Lalu aku bertanya lagi,
“Apakah kamu tidak merasa bangga dengan dirimu sendiri?” Dia menjawab, “Pernah aku merasakan sedikit dari hal semacam itu namun tatkala ayahandaku memberikan wejangan kepadaku, dia berhasil membelalakkan mataku akan hakikat diriku dan menjadikannya kecil bagiku dan jatuh harkatnya di mataku sehingga akhirnya Allah Azza wa Jalla menjadikan wejangan itu bermanfaat bagi diriku. Semoga Allah membalas kebaikan ayahandaku.”

Satu jam aku habiskan untuk mengobrol bersamanya dan rileks dengan ucapannya. Rasanya, belum pernah aku melihat pemuda setampan dia, sesempurna otaknya dan seluhur akhlaqnya padahal dia masih beliau dan kurang pengalaman.

Ketika di penghujung siang, pembantunya datang semberi berkata,
“Semoga Allah memperbaiki dirimu, kami sudah kosongkan!.” Lalu dia diam…

Aku bertanya kepadanya,
“Apa yang mereka kosongkan itu?.”
“WC.” Katanya
“Bagaimana caranya.?” Tanyaku lagi
“Yah, mereka kosongkan dari orang-orang.” Jawabnya
“Tadinya sikapmu mendapatkan tempat yang agung di hatiku hingga sekarang aku dengar hal ini.” Kataku
Dia begitu cemas dan mengucap Innâ Lillâhi Wa Innâ Ilaihi Râji’ûn, lalu berkata,
“Apa itu, wahai paman –semoga Allah merahmatimu-?.”
“Apakah WC itu milikmu.?” Tanyaku
“Bukan.” Katanya

“Lantas apa alasanmu mengeluarkan orang-orang darinya.? Sepertinya dengan tindakanmu itu, engkau ingin mengangkat dirimu di atas mereka dan menjadikan kedudukanmu berada di atas kedudukan mereka. Kemudian engkau juga menyakiti si penunggu WC ini dengan tidak mengabaikan upah hariannya dan membuat orang yang datang ke mari pulang sia-sia.” Kataku lagi

Dia berkata, “Adapun mengenai penunggu WC ini, maka aku sudah membuatnya rela dengan memberikan upah hariannya.”
“Ini namanya pengeluaran foya-foya yang dicampuri oleh kesombongan. Apa sih yang membuatmu enggan masuk WC bersama orang-orang padahal engkau sama saja dengan salah seorang dari mereka.?” Kataku

“Yang membuatku enggan hanyalah polah beberapa orang-orang tak beres yang masuk WC tanpa penghalang sehingga kau tidak suka melihat aurat-aurat mereka itu. Demikian pula, aku tidak suka memaksa mereka mengenakan penghalang sehingga hal ini bisa mereka anggap sebagai campur tanganku terhadap mereka dengan menggunakan kewenangan penguasa yang aku bermohon kepada Allah agar kita terhindar darinya. Karena itu, tolong nasehati aku –semoga Allah merahmatimu- sehingga berguna bagiku dan carilah solusi dari permasalahan ini!” Jawabnya.

Aku berkata,
“Tunggulah dulu hingga orang-orang keluar dari WC pada malam hari dan kembali ke rumah-rumah mereka, lalu masuklah.!”

“Kalau begitu, aku berjanji. Aku tidak akan masuk selama-lamanya pada siang hari semenjak hari ini dan andaikata bukan karena begitu dinginnya temperatur di negeri ini (sehingga selalu ingin buang hajat-red.,), tentu aku tidak akan masuk ke WC itu selama-lamanya.” Katanya

Dia berhenti sejenak seakan memikirkan sesuatu, kemudian mengangkat kepalanya menoleh ke arahku sembari berkata,
“Aku bersumpah di hadapanmu, tolong dengan sangat engkau simpan rahasia ini sehingga tidak didengar ayahandaku, sebab aku tidak suka dia masih marah padaku. Aku khawatir bila datang ajal sementara tidak mendapatkan keridlaan beliau.”

Maimun berkata,
“Lalu aku berniat ingin mengetesnya seberapa jauh ke dalaman akalnya, seraya berkata kepadanya,
‘Jika Amirul Mukminin (‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ayahandanya) bertanya kepadaku, apakah aku melihat sesuatu darimu, apakah engkau tega aku berdusta terhadapnya?.”
“Tidak. Ma’adzallâh, akan tetapi katakan padanya, ‘aku telah melihat sesuatu darinya lantas aku nasehati dia, aku jadikan hal itu sebagai perkara besar di hadapan matanya lalu dia cepat-cepat sadar.’ Setelah itu, ayahandaku pasti tidak akan menanyakanmu untuk menyingkap hal-hal yang tidak engkau tampakkan padanya. Sebab, Allah Ta’ala juga melindunginya dari mencari hal-hal yang masih terselubung.” Jawabnya

Maimun berkata,
“Sungguh, aku belum pernah sama sekali melihat seorang anak dan ayah seperti mereka berdua –semoga Allah merahmati keduanya-.“
Semoga Allah meridlai khalifah ar-Rasyid kelima, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, menyejukkan kuburannya dan kuburan putra serta buah hatinya, ‘‘Abdul Malik.

Keselamatanlah bagi keduanya pada hari bertemu dengan Allah Ta’ala, ar-Rafîq al-A’la.
Keselamatanlah bagi keduanya pada hari dibangkitkan bersama orang-orang pilihan dan ahli kebajikan

Halal dan Haram dalam Islam

Posted: Agustus 24, 2010 in Fiqih

4.2.12.1 Hikmah Diharamkannya Riba

Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya.

Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai berikut:

1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi:

“Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.”11

Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.

2. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.

(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).

3. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma’ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan.

(Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).

4. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah.

(Ini ditinjau dari segi sosial).

Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l’home par l’hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.

Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional.

4.2.12.2 Pemberi Riba dan Penulisnya

Pemakan riba ialah pihak pemberi piutang yang memiliki uang dan meminjamkan uangnya itu kepada peminjam dengan rente yang lebih dari pokok. Orang yang semacam ini tidak diragukan lagi akan mendapat laknat Allah, dan laknat seluruh manusia. Akan tetapi Islam, dalam tradisinya tentang masalah haram, tidak hanya membatasi dosa itu hanya kepada yang makan riba, bahkan terlibat dalam dosa orang yang memberikan riba itu, yaitu yang berhutang dan memberinya rente kepada piutang. Begitu juga penulis dan dua orang saksinya. Seperti yang dinyatakan dalam hadis Nabi:

“Allah akan melaknat pemakan riba, yang memberi makan, dua orang saksinya dan jurutulisnya.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah)

Tetapi apabila di situ ada suatu keharusan yang tidak dapat dihindari dan mengharuskan kepada si peminjam untuk memberinya rente, maka waktu itu dosanya hanya terkena kepada si pengambil rente saja.

Namun dalam hal ini diperlukan beberapa syarat:

  1. Adanya suatu keadaan dharurat yang benar-benar, bukan hanya sekedar ingin kesempurnaan kebutuhan. Sedang apa yang disebut dharurat, yaitu satu hal yang tidak mungkin dapat dihindari, apabila terhalang, akan membawa kebinasaan. Seperti makanan pokok, pakaian pelindung dan berobat yang mesti dilakukan.
  2. Kemudian perkenan ini hanya sekedar dapat menutupi kebutuhan, tidak boleh lebih. Maka barangsiapa yang kiranya cukup dengan $9,- (9 pounds) misalnya, tidak halal hutang $10,-.
  3. Dari segi lain, dia harus terus berusaha mencari jalan untuk dapat lolos dari kesulitan ekonominya. Dan rekan-rekan seagamanya pun harus membantu dia untuk inengatasi problemanya itu. Jika tidak ada jalan lain kecuali dengan meminjam dengan riba, maka barulah dia boleh melakukan, tetapi tidak boleh dengan kesengajaan dan melewati batas. Sebab Allah adalah Maha Pengampun dan Penyayang.
  4. Dia berbuat begitu, tetapi harus dengan perasaan tidak senang. Begitulah sehingga Allah memberikan jalan keluar kepadanya.

4.2.12.3 Rasulullah Selalu Minta Perlindungan pada Allah dari Berhutang

Satu hal yang perlu diketahui oleh setiap muslim tentang hukum agamanya, yaitu agama menyuruh supaya dia berlaku lurus dan sederhana dalam hidup dan kehidupannya.

Firman Allah:

“Dan jangan kamu berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan.” (al-An’am: 141)”Jangan kamu boros, karena sesungguhnya orang yang boros adalah kawan syaitan.” (al-Isra’: 26-27)

Kalau al-Quran menuntut kepada orang-orang mu’min supaya menginfaqkan harta kekayaannya, maka al-Quran tidak menuntut kepada mereka melainkan supaya menginfaqkan sebagian harta, bukan semuanya. Sebab siapa yang mendermakan sebagian hartanya, maka sedikit sekali dia akan berkekurangan,

Dengan kesederhanaan ini maka seorang muslim tidak lagi perlu berhutang, lebih-lebih Nabi sendiri tidak suka seorang muslim membiasakan berhutang. Sebab hutang dalam pandangan seorang muslim yang baik, adalah merupakan kesusahan di malam hari dan suatu penghinaan di siang hari. Justru itu Nabi selalu minta perlindungan kepada Allah dari berhutang. Doa Nabi itu sebagai berikut:

“Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadamu dari terlanda hutang dan dalam kekuasaan orang lain.” (RiwayatAbu Daud)

Dan ia bersabda pula:

“Aku berlindung diri kepada Allah dari kekufuran dan hutang. Kemudian ada seorang laki-laki bertanya: Apakah engkau menyamakan kufur dengan hutang ya Rasulullah? Ia menjawab: Ya!” (Riwayat Nasa’i dan Hakim)

Dan kebanyakan doa yang dibaca di dalam sembahyangnya ialah:

“Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadaMu dari berbuat dosa dan hutang. Kemudian ia ditanya: Mengapa Engkau banyak minta perlindungan dari hutang ya Rasulullah? Ia menjawab: Karena seseorang kalau berhutang, apabila berbicara berdusta dan apabila berjanji menyalahi.” (Riwayat Bukhari)

Ia menjelaskan, bahwa dalam hutang itu ada suatu bahaya besar terhadap budipekerti seseorang.

Beliau tidak mau menyembahyangi janazah, apabila diketahui bahwa waktu meninggalnya itu dia masih mempunyai tanggungan hutang padahal dia tidak dapat melunasinya, sebagai usaha untuk menakut-nakuti orang lain dari akibat hutang. Sehingga apabila dia mendapat ghanimah, maka beliau sendiri yang menyelesaikan hutangnya itu.

Dan sabdanya:

“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya melainkan hutang.” (Riwayat Muslim)

Berdasar penjelasan ini, maka seorang muslim tidak boleh berhutang kecuali karena sangat perlu. Dan kalaupun dia terpaksa harus berhutang, samasekali tidak boleh melepaskan niat untuk membayar. Sebab dalam hadis Rasulullah s.a.w. disebutkan:

“Barangsiapa hutang uang kepada orang lain dan berniat akan mengembalikannya, maka Allah akan luluskan niatnya itu; tetapi barangsiapa mengambilnya dengan Niat akan membinasakan (tidak membayar), maka Allah akan merusakkan dia.” (Riwayat Bukhari)

Kalau seorang muslim tidak dibolehkan hutang tanpa rente, padahal hutang adalah mubah, kecuali karena dharurat, dan didesak oleh suatu keperluan, maka bagaimana lagi kalau hutangnya itu bersyarat harus dibayar dengan rente?!

4.2.12.4 Menjual Kredit dengan Menaikkan Harga

Termasuk yang perlu untuk disebutkan di sini, yaitu sebagaimana diperkenankan seorang muslim membeli secara kontan, maka begitu juga dia diperkenankan menangguhkan pembayarannya itu sampai pada batas tertentu, sesuai dengan perjanjian.

Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo, untuk nafkah keluarganya. Begitu juga beliau pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi.12

Sekarang apabila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka sementara fuqaha’ ada yang mengharamkannya dengan dasar, bahwa tambahan harga itu justru berhubung masalah waktu. Kalau begitu sama dengan riba.

Tetapi jumhurul ulama membolehkan, karena pada asalnya boleh, dan nas yang mengharamkannya tidak ada; dan tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan kezaliman. Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram.

Imam Syaukani berkata: “Ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat.”13

4.2.12.5 Salam

Sebalik di atas, yaitu seorang muslim dibenarkan membayar uang lebih dahulu untuk barang yang akan diterimanya kemudian.

Cara semacam ini dalam fiqih Islam disebut salam.

lni salah satu macam mu’amalah yang waktu itu biasa berlaku di Madinah. Akan tetapi Nabi Muhammad s.a.w. ikut mencampuri persoalan tersebut dengan memberikan beberapa pedoman dan persyaratan, untuk disesuaikan dengan tuntunan syariat Islam.

Ibnu Abbas meriwayatkan: bahwa ketika Rasulullah s.a.w. tiba di Madinah, orang-orang pada menjalankan pengikat untuk. buah-buahan dalam jangka waktu setahun dan dua tahun. Kemudain Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Barangsiapa mencengkerami buah-buahan, maka cengkeramilah dengan suatu takaran tertentu, dan timbangan tertentu pada batas waktu tertentu.” (Riwayat Jam’ah)

Dengan membatas takaran, timbangan dan jangka waktu ini, maka akan hilanglah pertentangan dan kesamaran. Tetapi di samping itu mereka juga mengadakan ikatan untuk jenis buah korma yang masih di pohon, maka dilarangnyalah hal itu oleh Nabi s.a.w. karena terdapat unsur-unsur kesamaran. Sebab kadang-kadang potion korma itu akan terserang hama sehingga tidak bisa berbuah.

Jadi bentuk yang paling selamat dan aman dalam mu’amalah seperti ini, yaitu tidak bersyarat dengan jenis kormanya atau jenis gandumnya, tetapi yang penting ialah syarat takaran dan timbangan.

Tetapi kalau di situ terdapat unsur-unsur pemerkosaan (exploitation) yang terang-terangan oleh pihak pemilik kebun, sehingga karena didorong oleh keperluan, terpaksa si pemberi ikatan harus menerima perjanjian tersebut, maka waktu itu dapat dihukumi haram.

Hunian yang layak merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya diamanatkan dalam undang-undang dasar 1945 pasal 28 h dan juga oleh uu no. 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman dan uu no. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Akan tetapi, hunian yang layak belum dirasakan oleh setiap warga Indonesia.  Keterbatasan penyediaan rumah dan jumlah kekurangan rumah (backlog) mengalami peningkatan dari 5,8 juta unit pada tahun 2004 menjadi 7,4 juta unit pada akhir tahun 2009. Permukiman kumuh yang semakin meluas pada tahun 2009 diperkirakan menjadi 57.800 Ha dari kondisi sebelumnya yakni 54.000 Ha pada akhir tahun 2004. Mengingat bahwa tingkat kebutuhan rumah dan angka backlog masih cukup besar, dan untuk mencapai target pembangunan perumahan yang terkendala menghadapi tanah (lahan) dan anggaran, maka  perlu dikaji  kemungkinan pemanfaatan aset wakaf, wakaf baik tanah maupun wakaf uang (tunai).

Telah disepakati oleh ulama tentang definisi wakaf bahwa harta benda wakaf tidak boleh diperjualbelikan, tetapi harta benda wakaf (misalnya: tanah) boleh disewakan atau dikomersialkan dalam berbagai cara agar ia dapat menghasilkan keuntungan yang akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, diantaranya untuk memacu industri property. Berdasarkan data Kementerian Agama RI 2010,  jumlah tanah wakaf di Indonesia  3.312.883.317,83(3,3 milyar M2) tersebar di 454.635 lokasi. Pemanfaatan tanah wakaf tersebut sebagian terbesar untuk: ibadah (68%), pendidikan (8,51%), kuburan (8,4%) dan lain-lain. Dalam perspektif hukum Islam, yang masih dimungkinkan untuk dimanfaatkan untuk pembangunan perumahan (properti) dari 3,3 milyar m2 adalah sebesar 14,6% (483,6 juta m2 =48.368,10Ha), karena masuk kategori wakaf mutlak  (umum) dan bukan muqayyad (tertentu). Apabila sebagian  dari jumlah  tersebut dapat dimanfaatkan bagi pembangunan  properti (perumahan), tentu hal tersebut  menjadi potensi  yang cukup besar terutama  untuk pembangunan perumahan  bagi  masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan atau masyarakat miskin. Menurut Pengurus BWI yang sekaligus ketua pengurus pusat MES Jafril Khalil, Ph.D mengutarakan kelebihan menggunakan tanah wakaf dalam industry property adalah :
1.    Para pemaju tidak perlu berinvestasi besar terkait dengan tanah.
2.    Uang untuk investasi di tanah bisa dialihkan untuk membangun perumahan.
3.    Harga rumah pasti lebih murah
4.    Tentu saja tingkat penjualan dan penyewaan rumah akan selalu meningkat.
5.    Pengembang bisa mengembangkan pusat perdagangan yang murah

Sedangkan kekurangannya dari segi pengembang adalah:

1.   Tanah tidak bisa dimiliki oleh pembeli, dia hanya bisa menyewa.
2.   Sulitnya mencari tanah yang sangat strategis.
3.   Rumah berbasis wakaf kemungkinan diminati oleh masyarakat menengah kebawah.
4.   Akibatnya pengembang tidak dapat meraih untung besar  dari tanah dan bangunan

Demikian pula dengan wakaf tunai (uang), menurut Ketua Komite Perumahan Rakyat Kadin, Ir. Fuad Zakaria wakaf uang dapat di jadikan modal dengan nilai pokok uang tersebut tetap, praktiknya sudah ada 18 % nazhir yang pernah mempraktekkannya dan 33 % nazhir yang menyatakan bersedia mempraktikkan wakaf uang tersebut. Data diatas menunjukkan bahwa wakaf uang memiliki peluang untuk dikembangkan. Kemudian beliau berasumsi bahwa :

1.    Jika 20 juta umat Islam mewakafkan Rp 100.000 / bulan, maka terkumpul Rp 24 trilyun,- / tahun
2.    Jika 50 juta umat Islam mewakafkan Rp 100.000 / bulan, maka terkumpul Rp 60 trilyun,- / tahun
3.    Jika 1 juta umat Islam mewakafkan Rp 100.000 / bulan maka terkumpul Rp 1,2 trilyun,- / tahun

Potensi wakaf uang dari masyarakat yang begitu besar tersebut dapat lebih dioptimalkan lagi jika disalurkan ke perbankan syariah dan kemudian dijadikan modal untuk pembiayaan perumahan. Sunarwo, Unit Usaha Syariah � PT BTN (Persero) Tbk mengutarakan bahwa wakaf uang yang nantinya disalurkan ke bank syariah merupakan sumber pembiayaan perumahan yang bersifat jangka panjang, guna menghindari terjadinya maturity mismatch bagi perbankan syariah. Dana wakaf uang yang diterima Nazhir dan dititipkan (akad wadiah) pada Bank Syariah (BUS, UUS dan BPRS) dapat diperjanjikan jangka waktunya (misalnya jangka waktunya panjang), sehingga dana tersebut dapat disalurkan oleh Bank Syariah terhadap proyek-proyek tertentu (pembiayaan perumahan dengan jangka waktu relatif panjang). Pengelolaan Dana Wakaf Uang oleh Bank Syariah (BUS, UUS dan BPRS) dapat dilakukan dengan akad Mudharabah Muqayyadah untuk proyek perumahan yang akan disewakan seperti pembangunan Rusunawa (Investasi tidak langsung). Sehingga perlu adanya keringanan Pajak Penghasilan (PPh) atas Bonus atau Bagi Hasil yang diberikan atas dana yang dititipkan atau diinvestasikan pada Bank Syariah (BUS, UUS dan BPRS). Kemudian perlu adanya perlakuan khusus dari Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) atas Dana Wakaf Uang yang dikelola Bank Syariah (BUS, UUS dan BPRS), sehingga Dana Wakaf Uang tersebut tetap utuh apabila terjadi sesuatu atas Bank Syariah (BUS, UUS dan BPRS) serta perlu adanya aturan yang dapat mengatur bahwa Dana Wakaf Uang dapat menjadi dana abadi yang produktif untuk pengembangan proyek perumahan rakyat.

Lebih lanjut Dr. Tito Murbaintoro selaku Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat RI menjelaskan bahwa kemenpera selanjutnya akan  memfasilitasi kerjasama  yang sinergi dengan lembaga-lembaga terkait (terutuma  mengkaji aspek syariah dan regulasinya), agar potensi wakaf (baik tanah maupun uang) yang  besar tersebut dapat direalisasikan, diberdayakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum melalui pembangunan rumah bagi MBR dan atau masyarakat miskin serta kurang mampu.

Materi ini didiskusikan dalam acara seminar bulanan masyarakat ekonomi syariah kerjasama antara Masyarakat Ekonomi  Syariah dan Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah yang bertempat di Ruang Serba Guna lantai 6 Menara BTN, Jl. Gajah Mada No.1 Jakarta Pusat pada tanggal 28 Sya’ban 1431 H / 9 Agustus 2010 M dengan pembicara oleh Dr. Tito Murbaintoro (Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat RI), Ir. Fuad Zakaria (Ketua Komite Perumahan Rakyat Kadin), Jafril Khalil, Ph.D (Ketua PP MES-Pengurus BWI), Sunarwo (Unit Usaha Syariah � PT BTN Persero) dan di moderatori oleh Dr. Rahmat Hidayat (Anggota DSN MUI Pusat sekaligus pengurus pusat MES).

Kategori Syarhu Ushulil Iman

Senin, 24 Mei 2004 09:19:14 WIBPRINSIP AKIDAH ISLAMOlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminAqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.Allah berfirman dalam kitab suci-Nya.”Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatukebaktian, akan tetapi sesunggunya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi .” [Al-Baqarah: 177]Dalam soal takdir, Allah berfirman.”Artinya : Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran, dan perintah Kami hanyalah sesuatu menurut ukuran, dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” [Al-Qomar: 49-50]Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban terhadap malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman:” Artinya : Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian, dan mengimani takdir yang baik dan yang buruk.” [Hadits Riwayat Muslim][Disalin dari kitab Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA -Foreigners Guidance Center In Gassim Zone, halaman: 17-18]